26 November 2014

Perilaku Produsen

          Memproduksi suatu barang harus mempunyai hubungan dengan kebutuhan manusia. Berarti barang itu harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memproduksi barang mewah secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan manusia, karenanya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk memproduksi barang tersebut dianggap tidak produktif.
Produksi adalah sebuah proses yang telah terlahir di muka bumi ini semenjak manusia menghuni planet ini. Produksi sangat prinsip bagi kelangsungan hidup dan juga peradaban manusia dan bumi. Sesungguhnya produksi lahir dan tumbuh dari menyatunya manusia dengan alam.[1]

Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen. Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, begitu pula sebaliknya. Untuk menghasilkan barang dan jasa kegiatan produksi melibatkan banyak faktor produksi. Fungsi produksi menggambarkan hubungan antar jumlah input dengan output yang dapat dihasilkan dalam satu waktu periode tertentu. Dalam teori produksi memberikan penjelasan tentang perilaku produsen tentang perilaku produsen dalam memaksimalkan keuntungannya maupun mengoptimalkan efisiensi produksinya. Dimana Islam mengakui pemilikian pribadi dalam batas-batas tertentu termasuk pemilikan alat produksi, akan tetapi hak tersebut tidak mutlak.[2]

Konsumen muslim selalu berusaha memaksimumkan maslahah. Konsumen akan selalu menggunakan dan mengalokasikan anggarannya untuk mengkonsumsi barang dan jasa yang dapat menciptakan maslahah secara maksimal. Dengan memperoleh maslahah secara maksimal diharapkan konsumen dapat memperoleh falah yang mana mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Produksi adalah kegiatan untuk menghasilkan barang dan jasa. Tanpa kegiatan ini maka konsumen tidak akan mengkonsumsi barang dan jasa yang dibutuhkan. Kegiatan ini merupakan kegiatang yang saling berkaitan dan tidak bias dipisahkan. Karena prinsip-prinsip yang ada pada kegiatan konsumsi akan perlaku juga pada kegiatan produksi. Jika konsumen mengkonsumsi barang dan jasa untuk mendapatkan maslahah, maka produsen juga akan memproduksi untuk mendapatkan atau mencapai maslahah.

A.    Pengertian dan Ruang Lingkup Produksi Menurut Islam.
Secara sederhana produksi adalah kegiatan manusia untuk menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen. Manusia sering memproduksi sendiri ketika kebutuhan konsumsinya masih sedikit. Seseorang memproduksi barang dan jasa untuk dikosumsi. Ketika kebutuhan manusia semakin banyak dan kompleks sehingga tidak mampu memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkannya maka manusia dapat memperoleh dari pihak yang mampu menghasilkan barang dan jasa tersebut.

Pengertian produksi menurut para ekonom islam:
a.       Menurut Kahf (1992) memberikan definisi kegiatan produksi dalam persepektif islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik matrialnya, tapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agam islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
b.      Manan (1992) menekankan pentingnya motif altruisme (altruism) konsep pareto Optimality dan given demand hypothesis yang bayak dijadikan sebagai konsep dasar produksi dalam konsep kenomi konvensional.
c.       Rahman (1993) menekankan pentingnya keadilan dan kemerataan produksi (distribusi produksi secara merata).
d.      Ul Haq (1996) menyatakan bahwa tujuan dari produksi adalah memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang merupaka fardlu kifayah, yaitu kebutuhan yang bagi banyak orang pemenuhannya bersifat wajib.
e.       Siddiqi (1992) mendevinisikan kegiatan produksi sebagai penyediaan barang dan jasa dengan memperhatikan nilai keadilan dan kebajikan/kmanfaatan (maslahah) bagi masyarakat. Sepanjang produsen telah bertindak adil membawa kebajikan bagi masyarakat maka ia telah bertindak Islami.

Dari devinisi ini dapat disimpulkan bahwa kepentingan manusia, sejalan dengan moral islam, harus menjadi fokus dan target dari kegiatan produksi. Dimana produksi adalah proses mencari, mengalokasikan dan mengolah sumber daya menjadi output dalam rangka meningkatkan maslahah bagi manusia. Karenanya produksi mencakup aspek tujuan kegiatan menghasilkan output serta karakter-karakter yang melekat pada proses dan hasilnya.[3]

B.     Tujuan Produksi menurut Islam
Sebagaimana bahwa kegiatan produksi dan konsumsi merupakan mata rantai yang saling berkaitan dengan lainya. Karenanya kegiatan produksi harus sejalan dengan kegiatan konsumsi. Ketika ini tidak sejalan tentu saja tujuan yang diinginkan daripada kegiatan ekonomi tidak akan tercapai.

Tujuan seorang konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa dalam perspektif ekonomi islam adalah mencari maslahah maksimim dan produsen pun sama yaitu memaksimumkan maslahah. Dengan kata lain, tujuan kegiata produksi adalah menyediakan barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum bagi konsumen. Lebih spesifik, tujuan kegiatan produksi adalah meningkatkan kemaslahatan yang bisa diwujudkan dalam bentuk:
1.      Pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkatan moderat.
2.      Menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya.
3.      Menyiapkan persediaan barang dan jasa di masa depan
4.      Pemenuhan sarana bagi kegiatan social dan ibadah kepada Allah.

Tujuan produksi pertama adalah pemenuha kebutuhan manusia pada tingkatan moderat. Ada dua implikasi yang muncul pada tujuan ini, yang pertama, produsen hanya menghasilkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan (wants) konsumen. Kedua, kuantitas produksi tidak akan berlebihan, tapi hanya sebatas kebutuhan yang wajar.

Produsen harus proaktif, keatif dan inovatif dalam menemukan berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan oleh manusia. Sikap proaktif yang berorientasi kedepan dalam artian: pertama menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kehidupan masa mendatang. Kedua, menyadari bahwa sumber daya ekonomi, baik natural resources atau non natural resources, tidak hanya diperuntukkan bagi manusia yang hidup sekarang, tapi jga generasi mendatang.

Orentasi kedepan mendorong produsen melakukan berbagai riset dan pengembangan guna menemukan berbagai jenis kebutuhan, teknologi yang diterapkan, serta berbagai standar lain yang sesuai dengan tuntutan masa depan. Efisiensi juga senantiasa dikembangkan untuk menjaga kelangsungan dan kesinambungan dalam pembangunan. Implikasinya adalah  tersedianya secara memadahai kebutuhan bagi generasi mandatang.

Untuk tujuan pemenuhan sarana bagi kegiatan social dan ibadah kepada Allah. Ini sebenarnya merupakan tujuan produksi untuk mendapatkan berkah, yang mungkin secara fisik belum tentu bias dirasakan oleh perngusaha. Implikasinya adalah produksi tidak selalu menghasilkan keuntungan material. Ibadah sering tidak secara langsung memberikan keuntungan material, bahkan membutuhkan pengorbanan. Kegiatan produksi tetap berlangsung meski tidak memberi keuntungan materi, namun akan memberi keuntung yang jauh lebih besar yaitu pahala di akhirat.[4]

C.    Motivasi Produsen dalam Berproduksi
Dalam ekonomi konvensional, anggapan bahwa motivasi utama bagi produsen adalah mencari keuntungan material (uang) secara maksimal, meskipun masih banyak motivasi lain. Produsen adalah seorang profit seeker sekaligus profit maximizer. Strategi, konsep dan teknik berproduksi semuanya diarahkan untuk mencapai keuntungan maksimum, baik jangka pende maupun panjang.

Dalam islam, motivasi produsen seharusnya sejalan dengan tujuan produksi itu sendiri. Jika tujuan produksi adalah menyediakan kebutuhan material dan sepiritual untuk menciptakan maslahah, maka motivasinya adalah mencari maslahah, dimana ini menjadi tujuan kehidupan seorang muslim. Produsen dalam pandangan ekonomi islam  adalah maslahah maximizer. Mencari keuntungan melalu produksi dan kegiatan bisnis lain memang tidak dilarang, selama tidak bertentangan dengan tujuan dan hokum islam.

1.      Keuntungan, kerja dan tawakal
Islam bersikap sangat positif dan proaktif terhadap upaya manusia untuk mencari keuntungan, selama cara yang dilakukan tidak melanggar syariat. Upaya mencari keuntungan merupakan konsekoensi dari aktivitas kerja produktif yang dilakukan, keuntungan sendiri merupakan rezeki yang diberikan Allah kepada hambanya. Kerja merupakan sarana untuk mencari penghidupan serta untuk mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya.
Seorang berserah diri kepada Allah dalam hal berkerja (tawakal). Mereka tidak bekerja atau bekerja seadanya dengan alasan berserah diri pada pemberian Allah. Mereka juga beralasan bahwa rejeki telah diatur Allah, maka kita tidak perlu kerja keras, kalau Allah memberi rejeki maka akan dating sendiri.
2.      Kegiatan produksi pada masa Nabi Muhammad Saw.
Pada masa Rasulullah terdapat kurang lebih 178 buah usaha industri dan bisnis barang dan jasa yang menggerkan perekonomian msyarakat saat itu. Diantara berbagai industri yang menonjol ialah:
a.       Pembuatan senjata dan segalla usaha dari besi,
b.      Perusahaan tenun-menunun,
c.       Perusahaan kayu dan pembuatan rumah/bangunan,
d.      Perusahaan meriam dari kayu,
e.       Perusahaan perhiasan dan kosmetik
f.       Arsitektur perumahan,
g.      Perusahaan alat timbangan dan jenis lainnya,
h.      Pembuatan alat-alat berburu,
i.        Perusahaan perkapalan,
j.        Pekerjaan kedokteran dan kebidanan,
k.      Usaha penerjemahan buku,
l.        Usaha kesenian dan kebudayaan lainnya.

D.    Formulasi Maslahah
Adapun formulasi mashlahah bagi produsen dapat dirumuskan sebagai berikut:
Mashlahah = keuntungan + berkah
M = π + B
Dimana:
M = mashlahah
Π = keuntungan
B = berkah
Dalam berkah di mana produsen akan menggunakan sesuatu yang sama dengan yang dipakai oleh konsumen dalam mengindentifikasinya, yaitu adanya pahala pada produksi atau kegiatan yang bersangkutan. Adapun keuntungan merupakan selisih antara pendapatan total/total revenue (TR) dengan biaya totalnya/total cost (TC). Ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Π = TR – TC
Pada intinya berkah akan diperoleh apabila produsen menerapkan prinsp dan nilai Islam dalam kegiatan produksinya. Namun, penarapan nilai dan prinsip Islam ini seringkali menimbulkan biaya yang cukup besar dibandingkan jika mengabaikannya. Adapun berkah merupakan suatu kompensasi yang tidak secara langsung diterima produsen sehingga bisa dirumuskan berkah revenue (BR) dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan berkah tersebut atau berkah cost (BC), yaitu:
B = BR – BC = -BC
Dalam rumus diatas penerimaan berkah menjadi nol atau tidak dapat diprediksi karena berkah memang tidak secara langsung yang selalu berwujud material.
Produsen yang menerapkan prinsip dan nilai Islam (seperti kehalalan barang produksi) akan rela mengeluarkan biaya lebih tinggi dikarenaka bahwa hanya dengan cara tersebut berkah dari langit maupun dari bumi akan diberikan oleh Allah. Berkah dari langit berupa pahala dan berkah dari bumi berupa segala yang memberikan kebaikan dan manfaat bagi produsen sendiri atau juga manusia secara keseluruhan.
Adapun biaya untuk mencari berkah (BC) tentu saja akan membawa implikasi terhadap harga barang dan jasa yang dihasilkan produsen. Jadi, harga jual produk adalah harga yang telah mengakomodasi pengeluaran berkah tersebut, yaitu:
BP = P + BC
Dengan demikian rumusan mashlahah sebagai berkut:
M = BTR – TC –BC
E.     Penurunan Kurva Penawaran
Kurva penawaran adalah kurva yang menunjukkan hubungan antara tingkat harga dengan jumlah produk yang ditawarkan oleh produsen. Ia menunjukkan respons produsen dalam memasok outputnya terhadap perkembangan harga produk di pasar. Kurva penawaran diturunkan dari perilaku produsen yang berorientasi untk mencapai mashlahah maksimum.
Contoh:
Seseorang memproduksi suatu barang, di mana harga jual barang tersebut 171 rupiah. Untuk memproduksi satu unit barang itu diperlukan biaya total 140 rupiah. Sedangkan untuk memproduksi 2 unit diperlukan biaya total 145 rupiah, begitu seterusnya. Untuk mendapatkan produksi yang berkah, maka diperlukan biaya sebesar 18 rupiah ketika produksi 1 unit. 20 rupiah ketika 2 unit, dan seterusnya.
Q
dQ
BP
TC
dTC
BC
dBC
BP dQ
dTC+dBC
1
1
171
140
-
18
-
171
-
2
1
171
145
145
20
20
171
165
3
1
171
291
146
41
21
171
167
4
1
171
293
147
43
22
171
169
5
1
171
295
148
45
23
171
171
6
1
171
297
149
47
24
171
173
7
1
171
299
150
49
25
171
175
8
1
171
301
151
51
26
171
177
9
1
171
303
152
53
27
171
179
10
1
171
305
153
55
28
171
181
11
1
171
307
154
57
29
171
183
Dimana,
Q         : unit yang diproduksi
dQ       : tambahan jumlah yang diproduksi
BP        : harga jual unit yang diproduksi
TC       : biaya total produksi
dTC     : tambahan biaya bagi unit terakhir
BC       : pengeluaran untuk memperoleh berkah
dBC    : tambahan pengeluaran untuk memperoleh berkah
Adapun untuk mengetahui bagaimana proses yang ditempuh produsen Muslim dalam memaksimumkan mashlahah, maka kita arahkan pada dua kolom terakhir dari tabel di atas. Yang mana kolom tersebut membawa nilai barang yang diproduksi terakhir dan biaya-biaya yang diperlukannya.
Jika dilihat baris kedua sampai keempat pada kolom tersebut, maka didapati bahwa pendapatan yang diperoleh oleh produsen dari memproduksi unit yang terakhir melebihi biaya produksi dan pengeluaran untuk memperoleh berkah dalam memproduksi unit tersebut, sehingga mendorong produsen untuk menambah jumlah produksi.
Adapun dampak kenaikan harga produk seperti dari 171 rupiah menjadi 181 rupiah, maka bisa kita asumsikan dengan metode sama yang terdapat pada kolom di atas.
Dari keterangan di atas tampak bahwa titik optimum produksi akan naik sejalan dengan kenaikan tingkat harga produk, demikian pula sebaliknya. Pada kenyataanya, semakin tinggi tingkat harga produk, maka akan semakin banyak output yang harus dihasilkan oleh produsen agar titik optimum tercapai. Dengan kata lain, jumlah output yang ditawarkan oleh produsen akan semakin banyak dengan semakin menaiknya harga produk. Sebaliknya, semakin rendah harga produk, akan semakin sedikit jumlah output yang ditawarkan oleh produsen. 


F.     Faktor Produksi
Dalam pandangan Baqir Sadr (1979), ilmu ekonomi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu: Perbedaan ekonomi islam dengan ekonomi konvesional terletak pada filosofi ekonomi, bukan pada ilmu ekonominya. Filosofi ekonomi memberikan pemikiran dengan nilai-nilai islam dan batasan-batasan syariah, sedangkan ilmu ekonomi berisi alat-alat analisis ekonomi yang dapat digunakan. Dengan kata lain, faktor produksi ekonomi islam dengan ekonomi konvesional tidak berbeda, yang secara umum dapat dinyatakan dalam :
a.       Faktor produksi tenaga kerja
b.      Faktor produksi bahan baku dan bahan penolong
c.       Faktor produksi modal
Di antara ketiga faktor produksi, faktor produksi modal yang memerlukan perhatian khusus karena dalam ekonomi konvesional diberlakukan system bunga. Pengenaan bunga terhadap modal ternyata membawa dampak yang luas bagi tingkat efisiansi produksi. ‘Abdul-Mannan mengeluarkan modal dari faktor produksi perbedaan ini timbul karena salah satu da antara dua persoalan berikut ini: ketidakjelasan antara faktor-faktor yang terakhir dan faktor-faktor antara, atau apakah kita menganggap modal sebagai buruh yang diakumulasikan, perbedaan ini semakin tajam karena kegagalan dalam memadukan larangan bunga (riba) dalam islam dengan peran besar yang dimainkan oleh modal dalam produksi.
Kegagalan ini disebabkan oleh adanya prakonseps kapitalis yang menyatakan bahwa bunga adalah harga modal yang ada dibalik pikiran sejumlah penulis. Negara merupakan faktor penting dalam produksi, yakni melalui pembelanjaannya yang akan mampu meningkatkan produksi dan melalui pajaknya akan dapat melemahkan produksi. Pemerintah akan membangun pasar terbesar untuk barang dan jasa yang merupakan sumber utama bagi semua pembangunan. Penurunan belanja negara tidak hanya menyebabkan kegiatan usaha menjadi sepi dan menurunnya keuntungan, tetapi juga mengakibatkan penurunan dalam penerimaan pajak. Semakin besar belanja pemerintah, semakin baik perekonomian karena belanja yang tinggi memungkinkan pemerintah untuk melakukan hal-hal yang dibutuhkan bagi penduduk dan menjamin stabilitas hukum, peraturan, dan politik. Oleh karena itu, untuk mempercepat pembangunan kota, pemerintah harus berada dekat dengan masyarakat dan mensubsidi modal bagi mereka seperti layaknya air sungai yang membuat hijau dan mengaliri tanah di sekitarnya, sementara di kejauhan segalanya tetap kering.
Faktor terpenting untuk prospek usaha adalah meringankan seringan mungkin beban pajak bagi pengusaha untuk menggairahkan kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan yang lebih besar (setelah pajak). Pajak dan bea cukai yang ringan akan membuat rakyat memiliki dorongan untuk lebih aktif berusaha sehingga bisnis akan mengalami kemajuan. Pajak yang rendah akan membawa kepuasan yang lebih besar bagi rakyat dan berdampak kepada penerimaan pajak yang meningkat secara total dari keseluruhan penghitungan pajak.
G.    Prinsip Produksi Dalam Ekonomi Islam
Pada prinsipnya kegiatan produksi terkait seluruhnya dengan syariat Islam, dimana seluruh kegiatan produksi harus sejalan dengan tujuan dari konsumsi itu sendiri. Konsumsi seorang muslim dilakukan untuk mencari falah (kebahagiaan), demikian pula produksi dilakukan untuk menyediakan barang dan jasa guna falah tersebut.
Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah Saw memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi,yaitu sebagai berikut:
1.      Tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya. Allah menciptakan bumi dan langit berserta segala apa yang ada di antara keduanya karena sifat Rahman dan Rahiim-Nya bkepada manusia. Karenanya sifat tersebut juga harus melandasi aktivitas manusia dalam pemanfaatan bumi dan langit dan segala isinya.
2.      Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi. Menurut Yusuf Qardhawi, Islam membuka lebar penggunaan metode ilmiah yang didasarkan pada penelitian, eksperimen, dan perhitungan. Akan tetapi Islam tidak membenarkan penuhan terhadap hasil karya ilmu pengetahuan dalam arti melepaskan dirinya dari Al-qur’an dan Hadis.
3.      Teknik produksi diserahklan kepada keingunan dan kemampuan manusia. Nabi pernah bersabda:”kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”
4.      Dalam berinovasi dan bereksperimen, pada prinsipnya agama Islam menyukai kemudahan, menghindari mudarat dan memaksimalkan manfaat. Dalam Islam tidak terdapat ajaran yang memerintahkan membiarkan segala urusan berjalan dalam kesulitannya, karena pasrah kepada keberuntungan atau kesialan, karena berdalih dengan ketetapan-Nya, sebagaimana keyakinan yang terdapat di dalam agama-agama sealin Islam. Seseungguhnyan Islam mengingkari itu semua dan menyuruh bekerja dan berbuat, bersikap hati-hati dan melaksanakan selama persyaratan. Tawakal dan sabar adalah konsep penyerahan hasil kepada Allah SWT. Sebagi pemilik hak prerogatif yang menentukan segala sesuatu setelah segala usaha dan persyaratan dipenuhi dengan optimal.[5]
Adapun kaidah-kaidah dalam berproduksi antara lain adalah:
1.      Memproduksikan barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan produksi.
2.      Mencegah kerusakan di muka bumi, termasuk membatasi polusi, memelihara keserasian, dan ketersediaan sumber daya alam.
3.      Produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat serta mencapai kemakmuran. Kebutuhan yang harus dipenuhi harus berdasarkan prioritas yang ditetapkan agama, yakni terkait dengan kebutuhan untuk tegaknya akidah/agama, terpeliharanya nyawa, akal dan keturunan/kehormatan, serta untuk kemakmuran material.
4.      Produksi dalam islam tidak dapat dipisahkan dari tujuan kemandirian umat. Untuk itu hendaknya umat memiliki berbagai kemampuan, keahlian dan prasarana yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan spiritual dan material. Juga terpenuhinya kebutuhan pengembangan peradaban, di mana dalam kaitan tersebut para ahli fiqh memandang bahwa pengembangan di bidang ilmu, industri, perdagangan, keuangan merupakan fardhu kifayah, yang dengannya manusia biasa melaksanakan urusan agama dan dunianya.
5.      Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia baik kualitas spiritual maupun mental dan fisik. Kualitas spiritual terkait dengan kesadaran rohaniahnya, kualitas mental terkait dengan etos kerja, intelektual, kreatifitasnya, serta fisik mencakup kekuatan fisik,kesehatan, efisiensi, dan sebagainya. Menurut Islam, kualitas rohiah individu mewarnai kekuatan-kekuatan lainnya, sehingga membina kekuatan rohaniah menjadi unsur penting dalam produksi Islami.
H.    Produksi Dalam Pandangan Islam
Prinsip dasar ekonomi Islam adalah keyakinan kepada Allah SWT sebagai Rabb dari alam semesta. Ikrar akan keyakinan ini menjadi pembuka kitab suci umat Islam.
Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (Al-jaatsiyah:13) Rabb, yang seringkali diterjemahkan “Tuhan” dalam bahasa Indonesia, memiliki makna yang sangat luas, mencakup antara lain “pemelihara (al-murabbi), penolong (al-nashir), pemilik (al-malik),yang memperbaiki (al-mushlih), tuan (al-sayyid) dan wali (al-wali). Konsep ani bermakna bahwa ekonomi Islam berdiri di atas kepercayaan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemilik, dan Pengendali alam raya yang dengan takdir-Nya menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam dengan ketetapan-Nya (sunatullah).

Dengan keyakinan akan peran dan kepemilikan absolut dari Allah Rabb semesta alam, maka konsep produksi di dalam ekonomi Islam tidak semata-mata bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk mencapai maksimalisasi keuntungan akhirat. Ayat 77 surat al-Qashas mengingatkan manusia untuk mencari kesejahteraan akhirat tanpa melupakan urusan dunia. Artinya, urusan dunia merupakan sarana untuk memperoleh kesejahteraan akhirat. Orang bisa berkompetisi dalam kebaikan untuk urusab dunia, tetapi sejatinya mereka sedang berlomba-lomba mencapai kebaikan di akhirat.

Islam pun sesungguhnya menerima motif-motif berproduksi seperti pola pikir ekonomi konvensional tadi. Hanya bedanya, lebih jauh Islam juga menjelaskan nilai-nilai moral di samping utilitas ekonomi. Bahkan sebelum itu, Islam menjelaskan mengapa produksi harus dilakukan. Menurut ajaran Islam, manusia adalah khalifatullah atau wakil Allah dimuka bumi dan berkewajiban untuk memakmurkan bumi dengan jalan beribadah kepada-Nya. Dalam QS. Al-An’am(6) ayat 165 Allah berfirman: “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha penyayang”.

Pernyataan senada juga terdapat pada QS. Yunus (10) ayat 14: “Kemudian kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) dimuka bumi sesudah mereka, supaya kami memerhatikan bagiaman kamu berbuat.” Islam juga mengajarkan bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang banyak manfaatnya bagi orang lain atau masyarakat. Fungsi beribadah dalam arti luas ini tidak mungkin dilakukan bila seseorang tidak bekerja atau berusaha. Dengan demikian, bekerja dan berusaha itu menempati posisi dan peranan sangat penting dalam Islam. Sangatlah sulit untuk membayangkan seseorang yang tidak bekerja dan berusaha, terlepas dari bentuk dan jenis pekerjaanya, dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifatullah yang membawa rahmatan lil alamin inilah, seseorang produsen tentu tidak akan mengabaikan masalah eksternalitas seperti pencemaran. Bagi Islam, memproduksi sesuatu bukanlah sekedar untuk di konsumsi sendiri atau di jual ke pasar.
Dua motivasi itu belum cukup, karena masih terbatas pada fungsi ekonomi. Islam secara khas menekankan bahwa setiap kegiatan produksi harus pula mewujudkan fungsi sosial. Ini tercermin dalam QS. Al-Hadid (57) ayat 7: “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” Kita harus melakukan hal ini karena memang dalam sebagian harta kita melekat hak orang miskin, baik yang meminta maupun tidak meminta. (QS.51:19 dan QS.70:25). Agar mampu mengemban fungsi sosial seoptimal mungkin, kegiatan produksi harus melampaui surplus untuk mencukupi keperluan konsutif dan meraih keuntungan finansial, sehingga bisa berkontribusi kehidupan sosial.
Melalui konsep inilah, kegiatan produksi harus bergerak di atas dua garis optimalisasi. Tingkatan optimal pertama adalah mengupayakan berfungsinya sumberdaya insani ke arah pencapaian kondisi full employment, dimana setiap orang bekerja dan menghasilkan karya kecuali mereka yang “udzur syar’i” seperti sakit dan lumpuh. Optimalisasi berikutnya adalah dalam hal memproduksi kebutuhan primer (dharuriyyat), lalu kebutuhan sekunder (hajiyyat) dan kebutuhan tersier (tahsiniyyat) secara proposional. Tentu saja Islam harus memastikan hanya memproduksikan sesuatu yang halal dan bermanfaat buat masyarakat (thayyib). Target yang harus dicapai secara bertahap adalah kecukupan setiap individu, swasembada ekonomi umat dan kontribusi untuk mencukupi umat dan bangsa lain.

Pada prinsipnya Islam juga lebih menekankan berproduksi demi untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, bukan hanya sekedar memenuhi segelintir orang yang memiliki uang, sehingga memiliki daya beli yang lebih baik. Karena itu bagi Islam., produksi yang surplus dan berkembang baik secara kuantitatif maupun kualitatif, tidak dengan sendirinya mengindikasikan kesejahteraan bagi masyarakat. Apalah artinya produk yang menggunung jika hanya bisa didistribusikan untuk segelintir orang yang memiliki uang banyak.
Sebagai dasar modal berproduksi, Allah telah menyediakan bumi beserta isinya bagi manusia, untuk diolah bagi kemaslahatan bersama seluruh umat manusia. Hal ini terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 22: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-kutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”[6]

I.       Nilai-nilai Islam dalam berproduksi
Upaya produsen untuk memperoleh mashlahah yang maksimum dapat terwujud apabila produsen mengaplikasikan nilai-nilai islam. Dengan kata lain, seluruh kegiatan produksi terikat pada tatanan nilai moral dan teknikal yang islami. Metwally mengatakan, “perbedaan dari perusahan-perusahan non muslim tak hanya pada tujuannya, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya.

Nilai-nilai islam yng relevan dengan produksi dikembangkan dari tiga nilai utama dalam ekonomi islam, yaitu: khilafah, adil, dan takaful. Secara lebih rinci nilai-nilai islam dalam produksi meliputi:
1.      Berwawasan jangka panjang, yaitu berorientasi kepada tujuan akhirat;
2.      Menepati janji dan kontrak, baik dalam lingkup internal atau eksternal;
3.      Memenuhi takran, ketepatan, kelugasan dan kebenaran;
4.      Berpegang teguh pada kedisiplinan dan dinamis;
5.      Memuliakan prestasi/produktifitas;
6.      Mendorong ukhuwah antarsesama pelaku ekonomi;
7.      Menghormati hak milik individu;
8.      Mengikuti syarta sah dan rukun akad/transaksi;
9.      Adil dalam bertransaksi;
10.  Memiliki wawasan sosial;
11.  Pembayaran upah tepat waktu dan layak;
12.  Menghindari jenis dan proses produksi yang diharamkan dalm islam.
Penerapan nilai-nilai diatas dalam produksi tidak saja akan mendatangkan keuntungan bagi produsen, tetapi sekaligus mendatangkan berkah. Kombinasi keuntungan dan berkah yang diproleh oleh produsen merupakan satu mashlahah yang akan memberi kontribusi bagi tercapinya falah. Dengan cara ini, maka produsen akan memperoleh kebahagiaan hakiki, yaitu kemuliaan tidak saja di dunia tetapi juga diakhirat.[7]
J.      Perilaku Produsen Muslim Vs Non Muslim
Muhammad (2004)  berpendapat bahwa sistem ekonomi Islami digambarkan seperti bangunan dengan atap akhlak. Akhlak akan mendasari bagi seluruh aktivitas ekonomi, termasuk aktivitas ekonomi produksi. Menurut Qardhawi dikatakan, bahwa: “Akhlak merupakan hal yang utama dalam produksi yang wajib diperhatikan kaum muslimin, baik secara individu maupun secara bersama-sama, yaitu bekerja pada bidang yang dihalalkan oleh Allah swt, dan tidak melampaui apa yang diharamkannya.”

Meskipun ruang lingkup yang halal itu sangat luas, akan tetapi sebagian besar manusia sering dikalahkan oleh ketamakan dan kerakusan. Mereka tidak merasa cukup dengan yang banyak karena mereka mementingkan kebutuhan dan hawa nafsu tanpa melihat adanya suatu akibat yang akan merusak atau merugikan orang lain. Tergiur dengan kenikmatan sesaat. Hal ini dikatakan sebagai perbuatan yang melampaui batas, yang demikian inilah termasuk kategori orang-orang yang zalim. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Al Baqarah: 229) Seorang produsen muslim harus berbeda dari produsen non muslim yang tidak memperdulikan batas-batas halal dan haram, mementingkan keuntungan yang maksimum semata, tidak melihat apakah produk mereka memberikan manfaat atau tidak, baik ataukah buruk, sesuai dengan nilai dan akhlak ataukah tidak, sesuai dengan norma dan etika ataukah tidak. Akan tetapi seorang muslim harus memproduksi yang halal dan tidak merugikan diri sendiri maupun masyarakat banyak, tetap dalam norma dan etika serta akhlak yang mulia. “Seorang muslim tidak boleh memudharatkan diriya sendiri dan orang lain, tidak boleh memudharatkan dan saling memudharatkan dalam islam. “Barang siap dalam Islam yang memprakasai suatu perbuatan yag buruk, maka baginya dosa dan dosa yang mengerjakannya sesudahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Majah dari Jarir).”

Sangat diharamkan memproduksi segala sesuatu yang merusak akidah dan akhlak serta segala sesuatu yang menghilangkan identitas umat, merusak nilai-nilai agama, menyibukkan pada hal-hal yang sia-sia dan menjauhkan kebenaran, mendekatkan kepada kebatilan, mendekatkan dunia dan menjauhkan akhirat, merusak kesejahteraan individu dan kesejahteraan umum. Produser hanya mementingkan kekayaan uang dan pendapatan yang maksimum semata, tidak melihat halal dan haram serta tidak mengindahkan aturan dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh agama.

Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa bahwa norma dan etika seorang produsen muslim adalah:
1.      Norma Produsen Muslim
a.       Menghindari sifat tamak dan rakus
b.      Tidak melampaui batas serta tidak berbuat zhalim
c.   Harus memperhatikan apakah produk itu memberikan manfaat atau tidak, baik ataukah buruk, sesuai dengan nilai dan akhlak ataukah tidak, sesuai dengan norma dan etika ataukah tidak.
d.   Seorang muslim harus memproduksi yang halal dan tidak merugikan diri sendiri maupun masyarakat banyak, tetap dalam norma dan etika serta akhlak yang mulia.
2.      Etika Produsen Muslim
a.      Memperhatikan halal dan haram.
b.      Tidak mementingkan keuntungan semata.
c.  Diharamkan memproduksi segala sesuatu yang merusak akidah dan akhlak serta segala sesuatu yang menghilangkan identitas umat, merusak nilai-nilai agama, menyibukkan pada hal-hal yang sia-sia dan menjauhkan kebenaran, mendekatkan kepada kebatilan, mendekatkan dunia dan menjauhkan akhirat, merusak kesejahteraan individu dan kesejahteraan umum.
Produsen muslim harus memperhatikan semua aturan yang telah ditetapkan sesuai dengan ajaran islam, sementara produsen non muslim tidak mempunyai aturan-aturan seperti yang tersebut diatas.



[1] Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2007), hlm.102
[2] Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. Bangkit Daya Insana, 1995), hlm. 4
[3] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 230
[4] Ibid, hlm. 233 
[5] Mustafa Edwin Nasution,dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 108 
[6] Ibid, hlm. 104 
[7] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi….,hlm. 252

No comments: